Ramantika Dua Saudara-07
Sekarang aku telah balik ke hutan lagi bersama kakak kandungku, Kak
Antan. Di hutan ini ada lagi petualangan hidup yang kami alami. Di sini
aku akan ceritakan kepada anda, semoga anda puas.
*****
Dalam perjalanan pulang dari rumah Bang Atin, kami menemukan kesulitan
untuk kembali karena kami harus melawan arus sungai ke hulu. Kak Antan
berpikir bahwa jika diteruskan maka kami pasti tidak akan mampu lagi,
apalagi melihat kondisiku yang sudah payah dan letih setelah berobat
dengan Bang Atin. Anda pasti tahu bahwa selama tiga hari tiga malam aku
diobati Bang Atin, seluruh tenagaku terkuras untuk mengimbangi alat
suntik Bang Atin yang begitu perkasa mengoabrak-abrik kemaluanku yang
masih mungil dan kecil ini. Sehingga Kak Antan memutuskan untuk mencari
pemukiman baru yang tidak jauh dari kampung itu.
Di dekat pinggir sungai itu kami membuat dangau tempat tinggal. Kak
Antan yang cekatan dengan tangkasnya hanya memerlukan waktu sebentar
untuk membuat tempat tinggal kami. Akhirnya selesai sudah pembuatan
satu buah dangau kecil yang akan kami tempati berdua. Dangau kami yang
baru ini jauh lebih kecil dari dangau yang kami tempati dulu. Setelah
malam tiba kami tidur. Kak Antan tidur seperti biasa dekat pintu sedang
kan aku tidur di tepi dinding sebelahnya lagi. Kami tidur nyenyak
sekali, apalagi aku yang sudah tiga malam kekurangan tidur akibat
dibangunkan selalu oleh Bang Atin untuk melayani pengobatan yang
dilakukannya padaku.
Siang harinya seperti biasa Kak Antan pergi berburu dan mencari
buah-buahan untuk makanan, sedangkan aku hanya menunggu di rumah sambil
bekerja menyiangi sekitar rumah. Jika dulu aku sering ikut Kak Antan
berburu namun sekarang Kak Antan malah melarangku ikut karena dia
khawatir dengan sakitku. Begitulah kehidupan kami setelah menetap di
dangau itu. Setelah seminggu tinggal di dangau itu aku mulai kembali
mengingat Bang Atin. Ada rasa inginku untuk kembali dibelai dan
dicumbuinya. Mungkin perasaan alamiah yang kurasakan, sehingga setiap
hari aku selalu bermenung dan melamun. Keadaanku yang seperti ini
diperhatikan oleh kakakku sehingga dia pun menanyakan padaku.
"Munah, aku lihat kamu setiap hari hanya melamun saja, ada apa denganmu?" tanya Kak Antan suatu hari.
Aku terkejut dari lamunanku dan mencoba biasa-biasa saja.
"Aku mengingat Bang Atin, Kak. Sudah lama kita tidak berjumpa," jawabku jujur.
"Oo, jadi kamu mau diobati lagi sama Bang Atin? Bagaimana jika
kakak saja yang mengobatimu? Kamu kan tahu apa bahan yang dibuat
mengobatinya?" jawab kakakku.
"Ah, biar sajalah Kak," jawabku lagi.
Akhirnya berlalu begitu saja. Suatu malam ketika kami mau tidur,
Kak Antan mulai lagi membicarakan tentang pengobatan yang dilakukan
oleh Bang Atin. Saat itu aku betul-betul merindukan Bang Atin, aku
membayangkan bagaimana dia dengan lembutnya mengerjai epot mungilku.
Aku membayangkan saat-saat kitang Bang Atin menembus epotku yang
membuatku merasa nikmat yang luar biasa. Aku mengingat saat-saat kitang
itu menyemprotkan cairan obatnya ke dalam epotku.
"Akh, sungguh aku merindukanmu Bang Atin," hasratku.
"Munah, waktu kita di rumah Bang Atin, kakak mendengar suara ribut
dari kamar pengobatanmu. Aku mendengar seperti suara rintihan kamu,
apakah Bang Atin menyakiti sewaktu mengobatimu?" tanya Kak Antan.
Aku berpikir bahwa rupanya Kak Antan tidak tidur waktu itu sehingga dia mendengar suara-suara kami.
"Tidak, Kak. Malah Bang Atin membuat Munah merasa keenakan diobati," jawabku seenaknya.
"Kalau begitu, biar kakak saja yang mengobati Munah, ajarkan saja caranya!" pinta Kak Antan padaku.
Karena sudah didesak seperti itu, maka aku pun bersedia.
"Pertama, harus buka dulu pakaian kakak!" kataku memulai.
"Apa? Kok pakaian kakak yang dibuka? Yang diobati kan kamu!" bantah Kak Antan.
"Iya, aku juga," jawabku sambil menanggalkan pakaianku satu persatu.
Kak Antan hanya melongo saja melihat aku sudah telanjang bulat. Rupanya
dia belum pernah melihat aku telanjang bulat. Dari atas sampai ke bawah
dipandangnya aku dengan mata tak berkedip.
"Sekarang, buka pakaian kakak!" perintahku padanya. Namun dia hanya diam.
"Kakak sungguh mau mengobatiku? Jika ya, buka pakaian kakak!" perintahku lagi.
Akhirnya dibukalah pakaiannya satu persatu. Aku memperhatikan dia
mempreteli satu persatu kain-kainnya dalam terang cahaya lampu togok
itu. Aku menunggu saat dia membuka celananya, membayangkan bentuk
kitang Kak Antan, apakah masih seperti kepunyaan Bang Atin juga atau
tidak. Aku sudah merindukan saat-saat benda itu menerobos epot mungilku
dan mengoyak-ngoyak liangku. Aku tidak peduli lagi akan pengobatan
diriku, yang kuinginkan sekarang adalah benda panjang itu mengaduk-aduk
milikku.
"Oops, ehh," ketika celananya terselak, ternyata punya Kak Antan masih lisut dan kempes, besarnya lebih sedikit dari jempol.
"Waduhh," pikirku.
Aku tidak kehilangan akal, kusuruh Kak Antan memegang payudaraku
seperti Bang Atin pernah lakukan padaku. Kak Antan bergerak mendekatiku
dan sambil duduk dia mulai memegang payudaraku.
"Remas, Kak!" kataku. Kak Antan mulai meremas-remasnya.
"Munah, rasanya kok lembut sekali? Malah enak meremasnya" kata Kak Antan.
"Terus saja Kak!" jawabku lagi.
Akhirnya aku lihat kitang Bang Atin bergerak sendiri semakin
membesar. Setelah ukurannya maksimal, aku perhatikan kok bentuknya
membengkok ke kanan, tidak lurus seperti punya Bang Atin. Semakin ke
ujung semakin membesar namun lingkaran pangkalnya cukup kecil dan
ukuran panjangnya menyamai kitang Bang Atin. Aku tidak tahan lagi,
segera kuraih benda itu. Namun Kak Antan terkejut dan menghindar.
"Ehh, Munah, kamu mau apa?" tanyanya.
"Kak, waktu Bang Atin mengobatiku, dia menggunakan benda punyanya seperti punya Kakak itu. Namanya kitang," terangku kepadanya.
"Benda itulah yang menyalurkan obat ke tubuhku," jelasku lagi.
"Eh, kok bisa, bagaimana caranya?" tanya Kak Antan heran.
"Caranya akan Munah jelaskan asalkan Kakak menuruti perintahku," jawabku tak sabar.
"Baiklah, kakak akan menuruti" Kak Antan menyerah.
Aku mulai berbaring telentang. Kak Antan kusuruh meremas-remas
payudaraku, setelah agak lama, aku menyuruhnya menelungkup di atasku.
Kucari bibirnya dan kukulum-kulum bibir Kak Antan. Bibirnya terasa
dingin, namun aku merasakan kitangnya sudah terimpit di antara pahaku.
Aku menyuruhnya memasukkan kitangnya ke epotku, karena aku tidak sabar
lagi. Namun, dia malah tidak mengerti. Terpaksa aku bantu dengan
tanganku.
Bles, bles... Kitang kakakku mulai masuk dan dia langsung
menekannya sekuatkuatnya. Sepertinya dia menemukan suatu kenikmatan
baru yang belum pernah dirasakannya. Ampun! Suara nafasnya memburu
seperti habis berlari jauh. Kemudian belum sempat aku menikmati
permainan ini, dengan tergesa-gesa dia memaju mundurkan kitangnya
dengan cepat sekali, sehingga terasa panas epotku dan tidak berapa lama
kemudian crot.. crot... obatnya (air maninya) kurasakan menyemprot
banyak sekali. Setelah itu dengan cepat langsung dicabutnya kitangnya
tanpa menunggu rileks, sehingga menimbulkan rasa perih di epotku.
Biasanya Bang Atin membiarkan dulu beberapa saat sebelum mencabutnya.
"Akh, Dik, apa yang telah Kakak lakukan padamu?" tanyanya padaku.
"Kak, begitulah Bang Atin mengobatiku selama 3 hari itu. Namun Bang
Atin bisa membuat Munah merasa enak karena dia melama-lamakannya."
jawabku dengan kecewa.
"Apa kamu tidak merasa sakit?"
"Waktu pertama saja Kak sakitnya, setelah itu tidak lagi" jawabku.
Kejadian itu merupakan pengalaman pertamaku dengan Kakak Antan,
selanjutnya di gubuk kecil itu hampir setiap malam kami melakukannya.
Aku mengajari Kakak Antan bagaimana yang telah dilakukan oleh Bang
Atin. Aku menjadi ketagihan dan setiap hari aku selalu menunggu Kak
Antan pulang dari berburu untuk kemudian berburu kenikmatan dengan
dalih mengobatiku. Perbuatan ini kami lakukan berbulan-bulan, hingga
suatu saat aku merasa ada keganjilan pada perut dan perasaanku.
Perutku bertambah besar dan payudaraku pun semakin besar, padahal
tujuan kami sebelumnya adalah mengobati agar payudaraku jangan
membesar. Disamping itu ada perasaan aneh pada diriku, yaitu selalu
mual-mual dan ingin muntah. Sedangkan darah yang selama ini selalu
keluar setiap bulannya dari epotku sudah sembuh. Dalam kebingungan ini
akhirnya kami putuskan untuk kembali menemui Bang Atin. Kembali kami ke
rumah Bang Atin pada suatu sore dan menjumpai Bang Atin sedang
duduk-duduk di depan rumahnya. Melihat kami datang Bang Atin terkejut
dan kemudian tersenyum. Dia melirik nakal ke arahku. Aku kembali merasa
denyut birahi yang dulu selalu diobati Bang Atin kembali muncul ketika
melihat Bang Atin.
"Apa kabar kalian sekarang," tanya Bang Atin.
"Bang, adikku bukannya sembuh tapi malah semakin bertambah penyakitnya," jawab Kak Antan gusar.
"Oh, itu masalahnya. Dik Antan jangan marah dulu. Nanti aku ceritakan," kata Bang Atin.
Sore itu dijelaskanlah oleh Bang Atin, bahwa sebenarnya aku hamil
karena telah melakukan suatu perkawinan antara lelaki dengan wanita.
Terungkaplah di sana cerita kakakku bahwa kami pun telah melakukannya
di rumah. Mendengar itu Bang Atin malah marah dan mengatakan bahwa yang
kami lakukan itu terlarang karena kami bersaudara. Kak Antan menangis
menyesali itu semua, namun Bang Atin mengatakan bahwa janin yang ada di
perutku bukan milik Kak Antan tetapi miliknya.
Penyelesaiannya saat itu adalah bahwa aku harus menjadi istri Bang Atin
dan Kak Antan boleh tinggal di rumah itu dan nanti akan dicarikan pula
istrinya. Malam itu kami tidur kembali di rumah Bang Atin. Setelah
kakakku tertidur, Bang Atin dengan berbisik kemudian mengajakku ke
kamarnya dan kami pun melepaskan rindu di sana. Jadilah malam itu
merupakan malam kenikmatan yang tak dapat kulupakan. Mengingat aku yang
hamil, maka Bang Atin memasukkan kitangnya dari belakang dan posisiku
menungging. Sensasi lain yang kurasakan saat itu membuat aku menggapai
orgasme berkali-kali. Akhirnya malam itu selesai juga, terobati pulalah
rindu kami.
Kehidupan kami selanjutnya dan sampai saat ini tetap bermukim di
kampung itu. Aku telah menjadi istri Bang Atin dan telah mempunyai dua
orang anak yang lucu sekali, keduanya perempuan. Sedangkan Kak Antan
baru setahun dinikahkan dengan famili Bang Atin, saat ini istrinya
sedang hamil tua. Kami selalu merahasiakan kisah kami kepada famili dan
penduduk kampung.
T A M A T